Story of Our Journey |
Sebuah perjalanan yang tidak akan mungkin aku lupakan. bersama dengan seseorang yang membuatku sadar, betapa dia sangat memperhatikan diriku melalui cara-caranya yang terkadang tak bisa kumengerti.
Wonosobo, Mt. Prau 2.565 Mdpl
Disini adalah tempat dimana keinginanku empat tahun lalu bisa terwujudkan. Melalui jalan yang tak pernah kuduga-duga. Melalui rencana Tuhan yang tidak pernah aku rencanakan. Keinginan empat tahun yang lalu, yaitu mendaki bersama dirinya. Dia yang dulu membuatku tertarik untuk mencoba mendaki gunung. Konyol sebenarnya. Tapi entah mengapa, aku benar-benar ingin mendaki gunung bersamanya.
Hari itu aku tidak pernah menduga, bahwa dia akhirnya "bisa" mendaki bersama denganku. Kesebuah dataran tinggi di Wonosobo yang katanya merupakan tempat dewa bertahta, Dieng. Ini adalah kali pertama dalam sejarah hidupku mengendarai motor dengan jarak yang sangat sangat jauh, rutenya yaitu Jogja-Magelang-Temanggung-Wonosobo-Banjarnegara-Dieng kembali lagi Dieng-Banjarnegara-Kebumen-Purworejo-Kutoarjo-Wates-Yogyakarta. Sebuah perjalanan yang sangat-sangat melelahkan dan tidak ingin aku ulangi jika harus kesana menggunakan motor lagi :(
Pada awalnya rencana pergi ke Gunung Prau adalah Keinginanku. aku jauh-jauh hari telah menyiapkan uang untuk pergi kesana. Namun setelah diminggu tekahir keberangkatan, aku melihat bahwa dia tengah sibuk dengan revisi skripsinya. Kemudian aku mencoba untuk melupakan keinginanku itu. Melupakan semua rencana yang telah kupersiapkan dan berharap suatu saat nanti ada kesempatan lain untuk bisa mendaki bersamanya.
Di tengah sikap diamku, ternyata dia mengetahui bahwa aku menyimpan kekecewaan karena rencana ke Mt Prau yang aku buat tidak terealisasikan. Untuk itu aku memutuskan untuk mengobatinya dengan pulang ke kampung halaman, akan tetapi dia malah menahanku dan menyuruhku untuk tetap tinggal di Jogja. Hingga akhirnya dia memaksaku untuk berangkat ke Dieng hari itu juga. Dia mengatakan "Ayo pergi kesana sekarang, atau tidak ada kesempatan lagi nanti". Setelah kupertimbangkan kata-katanya itu yg cukup membuat pendirianku goyah, akhirnya aku memberanikan diri mengambil kesempatan ini untuk mendaki ke Gunung Prau.
Kemudian aku menghubungi beberapa teman dan saudaraku untuk meminjam alat mendaki. Ini adalah perndakian tergila yang tidak terencanakan, batinku. Namun ketika tau bahwa aku dan dia sebentar lagi tidak satu kota, akhirnya aku nekat untuk mengambil keputusan ini.
Setelah tidur beberapa saat, dia mengajakku untuk
berkeliling kebukit-bukit sekitar. Untuk mencari spot foto yang sekiranya bagus
dan tidak banyak orang yang mengganggu. Kami melalui padang bunga Daisy yang
cantik sekali. Dulu, aku hanya bisa melihat keindahan Daisy dari foto di Internet. Aku memang terobsesi untuk melihatnya langsung, dan hari itu aku bahkan bisa melihat keindahan bunga Daisy sepuasnya.
Setelah itu kami meneruskan perjalanan kesebuah bukit yang berhadapan langsung dengan jajaran gunung. Kami berhenti disitu, duduk bersama diatas rerumputan dan merasakan sinar hangat mentari memberikan kehangatan. Satu Dua Tiga detik ternyata aku sudah tertidur. Aku memang masih ngantuk dan tidak tertahankan lagi. Lalu aku terbangun oleh suara orang-orang yang datang. Lalu kami memutuskan untuk kembali ketenda dan sebelum itu kami mengabadikan momen bersama.
Kami kembali ketenda dan bersiap untuk sarapan pagi. Minum
kopi adalah hal yang paling menyenangkan jika dilakukan diatas gunung. Apalagi dengan hawa yang dingin pagi ini. Ketika kami mengeluarkan peralatan untuk memasak, kami baru tau kalau kami lupa membawa gas spirtus yang digunakan untuk menyalakan kompor. Akhirnya
terpaksa kami meminta bantuan kepada tetangga depan camp untuk memanaskan air yang kami
bahwa. Alhamdulillah masih bisa makan pop mie dan minum susu hangat. cukup
untuk bekal tenaga ketika pulang nanti.
Di tengah sikap diamku, ternyata dia mengetahui bahwa aku menyimpan kekecewaan karena rencana ke Mt Prau yang aku buat tidak terealisasikan. Untuk itu aku memutuskan untuk mengobatinya dengan pulang ke kampung halaman, akan tetapi dia malah menahanku dan menyuruhku untuk tetap tinggal di Jogja. Hingga akhirnya dia memaksaku untuk berangkat ke Dieng hari itu juga. Dia mengatakan "Ayo pergi kesana sekarang, atau tidak ada kesempatan lagi nanti". Setelah kupertimbangkan kata-katanya itu yg cukup membuat pendirianku goyah, akhirnya aku memberanikan diri mengambil kesempatan ini untuk mendaki ke Gunung Prau.
Kemudian aku menghubungi beberapa teman dan saudaraku untuk meminjam alat mendaki. Ini adalah perndakian tergila yang tidak terencanakan, batinku. Namun ketika tau bahwa aku dan dia sebentar lagi tidak satu kota, akhirnya aku nekat untuk mengambil keputusan ini.
Selepas maghrib dari Yogyakarta kami siap meluncur ke
kota Wonosobo. Kupikir jarak Jogja-Wonosobo tidak terlalu lama, namun ternyata perjalanan ini sangat sangat melelahkan. Setelah sampai di Wonosobo, kami mengambil arah ke
Banjarnegara untuk mampir ke basecamp temanku. Disana mereka telah menunggu dan
menyiapkan peralatan mendaki yang diperlukan. Ternyata alamak, jarak antara
Wonosobo ke Banjarnegara juga jauh banget. Sekitar 1 jam melawati hutan-hutan,
jalanan yang tidak ada lampu penerangan, dan sangat sepi sekali. Akhirnya
setelah sampai disana, tidak lama-lama kami segera berangkat ke Dieng.
Perjalanan ke Dieng mungkin adalah perjalanan
terberat, karena suhu udara semakin dingin. Kami sampai di basecamp pendakian
Gunung Prau sekitar jam 1 malam. Pendakian ini kurasa adalah pendakian dengan cuaca terdingin yang pernah kurasakan. Udara musim kemarau dimalam hari benar-benar membuat tubuhku mati rasa karena kedinginan. Kakiku bahkan
sudah membeku. Kami istirahat di basecamp Patak Banteng sejenak dan melihat beberapa
rombongan yang belum naik. Kamipun naik keatas bersamaan dengan rombongan itu.
Kira-kira butuh 2 jam untuk mencapai puncak.
Trekking yang dilalui tidak terlalu sulit. Karena itu juga aku berani untuk mendaki gunung Prau meskipun persiapan kurang memadai. Trekking pertama pertama kami melalui perkebunan warga yang jalannya dibuat berundak-undak. Kemudian kami melalui jalanan yang sangat terjal dan menanjak
dipenuhi dengan batu dan akar pohon yang licin. Harus ekstra hati-hati jika melalui jalanan seperti ini, apalagi di malam hati. Ketika hampir sampai ke puncak, kami melewati jalan yang cukup menanjak
namun mulus dan dipenuhi rumput.
Pada saat perjalanan kepuncak, setiap kali
kami beristirahat mengatur napas kupandangi langit yang penuh dengan
bintang-bintang. Langit malam itu sangat cerah karena tidak ada cahaya bulan.
Saat itu aku teringat pada impianku dulu yang ingin pergi ke Gunung Prau. Rasanya seperti baru kemarin aku membuat wishlist itu dan hari ini tak menyangka dapat terwujudkan.
Perjalanan yang katanya hanya 2 jam yang sebelumnya
kuanggap enteng karena aku sudah terbiasa naik gunung ternyata membuatku
kepayahan juga. Memang kita tidak boleh merasa hebat ketika berhadapan dengan
alam. Ditengah jalan napasku terengah-engah, ditambah lagi kakiku yang beku rasanya sulit
sekali untuk digerakkan. Beberapa kali aku istirahat dan merasa bahwa
tubuhku ini semakin lama semakin loyo. Tidak sekuat saat dulu pertama kali aku
mendaki gunung Merapi. Kini hanya dengan waktu tempuh 2 jam kepuncak aku pun
sudah lemas. Namun rasanya sia-sia jika harus menyerah. Kupaksakan diriku untuk
terus naik, dan dalam hati kubaca Surat-Surat Pendek. Itu adalah mantera yang
kugunakan setiap kali melakukan pendakian. Setiap kali aku merasa lelah, lemas, dan
tidak sanggup untuk berjalan lebih jauh lagi aku selalu membaca Surat-Surat Pendek. Setelah itu rasanya aku seperti mendapat kekuatan tambahan. Dan akhirnya seiring dengan
bacaanku kala itu, langkah kakiku mulai ringan dan tak terasa kami telah mendekekati
puncak.
Ramainya Gunung Prau |
Didepan mataku sebuah pemandangan yang belum pernah
kulihat sebelumnya. Ratusan tenda berjejeran dibukit itu. Inikah efek dari
sebuah film, media massa, dan media sosial? Tanyaku pada diri
sendiri. Orang-orang yang sebelumnya tidak tertarik dengan kegiatan menjelajah
alam atau gunung kemudian berbondong-bondong untuk pergi kegunung. Ah rasanya
kedamaian yang ingin aku dapatkan ketika berada di gunung seperti biasanya
tidak bisa kudapatkan disini. Ketika naik gunung, biasanya aku menyukai ketenangan yang dihadirkan. Namun disini, Terlalu ramai.
Sunrise gunung Prau yang selalu dinanti |
Lalu setelah menemukan tempat yang sekiranya lapang dan
muat untuk mendirikan tenda kami bergegas untuk mendirikan tenda. Udara dan angin
diluar sudah teramat sangat dingin. Jaket 3 lapis yang kupakai pun tak mampu
menghilangkan rasa dinginnya. Akhirnya selesai membuat tenda dengan sedikit
bersusah payah, kami segera menghangatkan diri kedalam tenda. Sleeping bag
adalah penghangat terbaik kala itu. Mampu menghangatkanku dan membuatku
terlelap sebelum akhirnya dibangunkan oleh orang-orang yang berteriak-teriak waktu melihat sunrise. Pada awalnya aku enggan untuk bangun. Lebih memilih tidur
dan berpelukan dengan sleeping bag. Namun rasanya sayang jika tidak mengabadikan
momen legendaris di gunung Prau, Golden Sunrise. Dan TAARAA, setelah kubuka
tenda, kami disambut oleh matahari yang masih enggan menampakkan diri. Cahanya
membuatku mampu melihat pemandangan yang tadi malam tidak bisa kulihat. Sebuah
pemandangan yang menakjubkan. Jejeran gunung terlihat angkuh menantang.
Menunjukkan pesonannya kepada kami yang ada di gunung Prau. Satu dua kali
Jepret kami mengambil foto. Namun aku tidak tahan dengan angin yang sangat
kencang sekali. Akhirnya tidak lama setelah matahari benar-benar menunjukkan
dirinya aku kembali kedalam tenda dan meneruskan tidurku yang tertunda.
Rebahan diatas ruput dan dikelilingi bunga Daisy yg cantik |
Setelah itu kami meneruskan perjalanan kesebuah bukit yang berhadapan langsung dengan jajaran gunung. Kami berhenti disitu, duduk bersama diatas rerumputan dan merasakan sinar hangat mentari memberikan kehangatan. Satu Dua Tiga detik ternyata aku sudah tertidur. Aku memang masih ngantuk dan tidak tertahankan lagi. Lalu aku terbangun oleh suara orang-orang yang datang. Lalu kami memutuskan untuk kembali ketenda dan sebelum itu kami mengabadikan momen bersama.
Kebiasaan burukku. Mudah banget tidur dimanapun |
Setelah sarapan selesai, kami bersiap untuk pulang. Meskipun dalam
hati aku ingin disana lebih lama. Ingin tiduran diatas bunga daisy lagi dan
dimanjakan oleh kehangatan mentari, sambil melihat birunya langit yang menentramkan. Hal itulah yang selalu aku sukai ketika mendaki gunung. Momen yang tidak bisa kudapatkan di kota. Namun pulang adalah sebuah keharusan.
Perjalanan turun ke Basecamp melihat pemandangan indah ini |
Sewaktu turun aku mempercepat langkahku.
Tubuhku sudah sangat lelah dan ingin segera tiba dirumah. Hingga akhirnya aku
sempat terpeleset beberapa kali. Tapi dia malah menertawakanku. Ah dasar, nggak
ada romantisnya ini orang, pikirku. Lalu aku semakin mempercepat
langkahku dan berjalan didepannya. Dan pada akhirnya tenagaku serasa
terkuras habis setelah menuruni pos kedua yang jalannya terjal bebatuan.
Akupun mengambil langkah pelan dan tidak lagi berjalan secepat
sebelumnya. Hingga tak terasa, kami sudah hampir sampai di basecamp. Siang itu basecamp
dipenuhi dengan orang yang istirahat setelah naik gunung maupun sebelum
mereka berangkat mendaki. Karena kaki dan badan sudah lemas,
kuistirahatkan badan sejenak dengan menyenderkan tubuhku ketembok.
Kulihat dia juga sudah sangat kelelahan. Tidak dapat kubayangkan
bagaimana kondisinya saat itu. Harus mengendarai motor selama kurang
lebih 6 jam. Dan nanti ketika pulang, dia juga harus mengendarai motor
lagi untuk menuju Jogja. Lalu kubiarkan dia tidur dengan berbantalkan carrier yang dia bawa.
Sebelum
pulang kami mengecek kembali barang bawaan yang dibawa. Jangan sampai
ada yang tertinggal. Setelah itu kami bersiap untuk meninggalkan basecamp. Ketika telah meninggalkan basecamp, dia mengajakku untuk mampir ke telaga warna. Ah,
aku sudah capek, rasanya berat sekali kakiku untuk melangkah, batinku.
Namun untuk menyenangkannya aku menyetujui ajakannya tersebut. Aku tahu
bahwa sebentar lagi dia akan pulang ke Palembang. Dan karena itu, dia
ingin menghabiskan saat-saat terakhirnya di Jawa dengan mengunjungi
tempat-tempat wisata.
Muka kelelahan tapi Bahagia. Di Telaga Warna |
Untungnya
jarak antara basecamp pendakian Prau dengan Telaga Warna tidak terlalu
jauh. Tempatnya pun juga sejuk dan bagus untuk berfoto-foto. Sayangnya,
saat itu aku tidak begitu berminat untuk foto banyak-banyak. Selain
karena badan yang sudah lelah, juga karena bau belerang yang menyengat.
Membuatku ingin cepat-cepat menjauh dari telaga itu. Setelah beberapa
saat mengelilingi telaga warna, tak lama kami memutuskan untuk pulang.
Pulang,
rasanya aku rindu tempat dimana aku seharusnya berada. Namun kejadian
hari ini seperti mimpi bagiku. Tiba-tiba saja diajak mendaki, Tiba-tiba
saja pergi ke Prau, Tiba-tiba saja keinginanku terwujud. Tiba-tiba saja bisa mendaki bersamanya setelah menanti bertahun-tahun. Hatiku diisi
perasaan yang bercampur aduk, bahagia, senang, lelah, sedih, bingung. Terimakasih Tyo, telah membuat semua ini menjadi nyata. Hari itu aku merasa seperti berada di dunia dongeng. Dan sekarang aku tau, kesempatan itu tidak akan datang dua kali.
Untuk
Dia yang selalu memarahiku ketika aku ragu, plin-plan, dan berubah-ubah
pikiran. Dia yang selalu cuek dihadapanku. Dia yang menyayangiku dengan
caranya sendiri. Terkadang aku berpikir, kenapa bisa dibalik sikap cuek
dan marahmu tersimpan rasa sayangmu padaku? Hingga kamupun mau
menghadapi hari-hari yang penuh kesulitan bersamaku.
0 komentar:
Posting Komentar